Bila ada yang mengatakan bahwa
Ramadhan adalah bulan yang istimewa, itu adalah benar. Namun Ramadhan tetaplah
bukan bulan Istimewah seperti tradisi kebanyakan yang sudah membudaya.
Siapa
pun orangnya ingin sukses menjalani gemblengan selama bulan puasa, namun
kemudian timbul sebuah keraguan dalam hatiku bahwa perasaan itu hanyalah
sekedar penilaian subyektif terhadap diri sendiri, setelah sejenak melirik
catetan laku prihatin yang dijalani
selama Ramadhan.
Ketika
mengantar istri tercinta kepasar, selalu ia bergumam kalau harga sembako
melambung setiap memasuki bulan suci Ramadhan dari tahun ke tahun, Artinya apa
semua itu ?
Ternyata
ketika saya melihat ke tas belanjaan istri saya, barulah tersadari untuk persiapan menjalani
ibadah puasa, justru kami melakukan stokisasi, penumpukan cadangan sembako,
bahkan terkadang sampai melebihi kebutuhan normal sehari-hari pada bulan-bulan
biasa.
Dan
ketika saya periksa jenis menunya, hehehehe…….ternyata menunya lebih mewah
dibanding hari-hari biasa.
Sambil
garuk – garuk kepala saya bergumam sendiri….Pantas saja permintaan kebutuhan
sembako meningkat tajam, ini baru model belanja istri saya….lha bagaimana kalau
istri – istri sak kota juga menuntut pemenuhan standar menu yang sama ? Pantes wae rego – rego kebutuhan podo mundak…….
Dengan
kondisi demikian, saya merasa malu mengatakan,”….kita
baru prihatin, kita sedang latihan mengendalikan nafsu, kita sedang menjalani
ibadah suci !!. Apakah kesucian
identik dengan pemborosan dan kemewahan yang berlebihan ? Bukankah seharusnya
Ramadhan ini digunakan untuk meningkatkan kesadaran jati diri, Ojo dumeh, eling dan waspada.
Dengan
KESADARAN bahwa bulan suci hanyalah sebagai pemusatan PELATIHAN DIRI DALAM
BERIBADAH, semoga akan memperbesar manfaat menjadikan sikap kita semakin ELING
dan WASPADA, bahwa beribadah yang sejatinya adalah dalam praktek kehidupan
sehari-hari setelah bulan Ramadhan berlalu, bahwa medan pertempuran sebenarnya adalah
sebelas bulan kedepan.
Bila
ada yang berasumsi bahwa bulan suci merupakan puncak ibadah, hal itu
boleh-boleh saja. Namun bagi saya pribadi,
asumsi tersebut membuat diri saya jadi TERLENA. Saya pribadi khawatir bila
nanti setelah bulan suci usai, ibarat seorang yang baru saja lepas dari
karantina. Berbaur dalam kehidupan yang bebas, lalu muncul sikap
mentang-mentang merasa sudah bukan bulan suci lagi, lantas muncul anggapan tidak lagi sakral. Kemudian tidak
mampu menahan nafsu golek menange dewe, golek butuhe dewe, golek benere dewe.
Maka
dari itu saya pribadi lebih mengasumsikan bahwa bulan puasa tidak lain sebagai
pemusatan pelatihan diri. Diumpamakan sebagai gathotkaca yang ingin mbabar jati diri harus melewati “tapa brata” dengan tapa kungkum direndam di dalam panasnya kawah candradimuka terlebih dahulu. Sang Gathotkaca tidak pernah BERHARAP PAHALA manakala menjalani tapa
kungkum (berendam diri dalam air) di
dalam kawah candradimuka yang
mendidih itu. Apa yang ia harapkan hanyalah mencapai kesadaran diri yang tinggi.
Kesadaran
yang tinggi inilah yang diperlukan sebagai BEKAL dalam menjalani peribadatan
yang sesungguhnya. Yakni menjalani kehidupan habluminannas setelah bulan suci
usai. Mempraktekan hasil latihan dan gemblengan selama sebulan merupakan hal
yang lebih utama. Tanpa adanya keberhasilan dalam mempraktekan hasil dalam
kehidupan sehari-hari selama setahun, apa yang dicapai selama sebulan hanyalah
sia-sia belaka.
Monggo…latihan
membenahi kesadaran diri bersama – sama selama Ramadhan untuk bekal perjalanan
sebelas bulan selanjutnya. Salam SUMER……!!!!

0 Komentar