Semangat hidup seperti halnya ombak dilautan, terkadang
Pasang dan kadang surut. Seperti cuaca saat ini siang begitu panas terik namun
kala sore menjelang selimut kelam awanpun membentang.
Sebatang rokok secangkir kopi…..menemani sore ini
menterjemahkan goresan pada lontar yang berdebu. Sebuah bait awal mulai
terangkaikan “bila langit hatimu mulai kelabu pergilah kerumah kedamaian,
disana kan kau temui secawan minyak untuk pelita hatimu”
Kuhisap dalam – dalam rokok terakhirku diiringi seteguk kopi
hangat cukup untuk meredakan pening dikelapaku.
“Rumah Kedamaian…yaaa….lama sekali aku ndak mampir kesana”,
gumamku seraya memandangi rintik gerimis membasuh daun – daun berdebu.
Kubenahi posisi dudukku, perlahan kupejamkan mataku seketika
badanku seperti tersedot dalam lubang hitam pening berputar – putar seperti mau
pingsan. Dan ketika pening ini mulai berkurang kupandangi sekelilingku yang
dipenuhi oleh bambu dan pakis.
“apakah aku telah sampai” aku tertegun “tapi mengapa harus
di hutan bambu” diriku terus bertanya – Tanya.
“kau sudah sampai nak…” Suara seorang kakek mengagetkanku,
dia tersenyum sambil terkekeh – kekeh.
“Kakek…siapa….?” Tanyaku heran.
“Sudahlah…tak usah banyak Tanya…ikuti aku…!!” jawabnya
sambil berjalan diantara bambu yang menjulang.
Tak lama kemudian sampailah aku di sebuah gubug bambu ditepi
sebuah telaga yang begitu tenang dan bening airnya. Kakek yang beruban dan
berjenggot panjang itu lalu duduk diberanda menghadap telaga, akupun kemudian
menyusul dan duduk disampingnya.
“Mau teh hangat..??” ujar kakek sambil menyodorkan secangkir
the padaku.
“Eee…iyaa…boleh kek…”jawabku keheranan…sejak kapan kakek ini
bikin teh.
“Tak usah heran…ditempat kedamaian alam kan
mencukupi kebutuhanmu” Kakek memandangi aku yang keheranan seakan menjawab isi
pikiranku.
“Minumlah dulu tehmu…baru kau boleh bertanya sesuatu padaku”
ujar kakek sambil meminum secangkir teh di genggamannya.
Kuminum teh pemberian kakek yang terasa begitu hangat
bercampur wangi melati.
"Kakek," aku bertanya. "Apakah Kakek bisa memberi saya satu cerita yang menarik untuk jangan mudah menyerah ?" Kakek memandangiku sejenak kemudian mengalihkan pandangannya pada pohon bambu disampingnya.
"Coba lihat ke sekitarmu. Apakah kamu melihat pakis dan bambu ?".
"Ya," jawab jawabku.
"Ketika menanam benih pakis dan benih bambu, Aku merawat keduanya secara sangat baik.
Matahari memberi keduanya cahaya. Hujan memberikan air. Kemudian pakis tumbuh cepat di sini. Daunnya yang hijau segar menutupi permukaan tanah hutan. Sementara itu, benih bambu tidak menghasilkan apapun. Tapi Aku tidak menyerah".
"Pada tahun kedua, pakis tumbuh makin subur dan banyak, tapi belum ada juga yang muncul dari benih bambu. Tapi Aku tidak menyerah".
"Di tahun ketiga, benih bambu belum juga memunculkan sesuatu. Tapi Aku tidak menyerah.
Di tahun ke-4, masih juga belum ada apapun dari benih bambu.
Aku tetap tidak menyerah," Kakek bercerita dengan santai namun begitu
berwibawa.
"Di tahun kelima, muncul sebuah tunas bambu kecil.
Dibanding dengan pohon pakis, tunas itu tampak kecil dan tidak bermakna. Tapi 6
bulan kemudian, tunas bambu itu menjulang begitu tinggi.
Ternyata untuk menumbuhkan akar itu perlu waktu 5 tahun.
Akar ini membuat bambu kuat dan memberi apa yang diperlukan bambu untuk bertahan
hidup".
"Tahukah kamu, nak…, di saat menghadapi semua kesulitan dan perjuangan berat ini, kamu sebenarnya sedang menumbuhkan akar-akar?"
"Aku tidak meninggalkan bambu itu. Karena aku percaya Tuhan tidak akan menciptakan sesuatu dengan sia – sia, ia pasti mempunyai sebuah rencana indah dan matang bagi bambu itu."
"Bambu mempunyai tujuan yang beda dengan pakis. Tapi keduanya
"Bila waktumu telah tiba. Dirimu akan menanjak dan menjulang tinggi." Kakek mengakhiri ceritanya.
"Saya akan menjulang setinggi apa ?" tanyaku.
"Setinggi yang bisa kau capai," jawab Kakek.
" Agungkan Tuhan-Mu dan muliakan Orang tuamu dengan menjadi yang terbaik, meraih yang tertinggi sesuai kemampuanmu," kata Kakek seraya kembali meneguk teh dalam genggamannya.
“Terima kasih kek…”, ucapku dengan senyum mengembang.
“Pulanglah…namun jangan kau lupakan tempat kedamaianmu” Ucap
kakek penuh wibawa.
Seketika kembali kurasakan bagai tersedot lubang hitam yang
berputar – putar. Setelah pening kembali mereda sayup sayup kudengar gemericik
gerimis diantara dedaunan. Kuhirup dalam – dalam segarnya aroma hujan dan
perlahan kubuka mataku dengan segala kedamaian hati seiring rinai gerimis sore
ini.

0 Komentar